Antisipasi Golput

Oleh: Andika Khoirul Huda*
Genderang perang pemilihan kepala daerah (pilkada) jilid III sudah disiapkan di setiap daerah, dan akan segera ditabuh pada Juni 2018 mendatang. Pasangan calon kepala daerah pun sudah pasang kuda-kuda dan menyiapkan segala peralatan perangnya untuk adu kekuatan dalam panggung perpolitikan nanti. Hal ini ditujukan supaya dalam perang nanti mereka mendapatkan jalan mulus menuju singgasana nomor satu di daerah pemilihannya, baik akan menggunakan cara yang bersih maupun kotor, sebagaimana yang sering terjadi selama ini.
Sayangnya, permasalahan yang selama ini muncul, banyak masyarakat bersikap tak acuh tentang bagaimana cara setiap calon kepala daerah dalam memenangkan pilkada, apakah menggunakan cara kotor atau baik. Anehnya, tidak sedikit masyarakat yang berpikir pragmatis, seperti menghalalkan cara kotor yang dipakai sebagian calon, dengan menerima politik uang. Tentu hal itu akan menistakan mereka sendiri di kemudian hari, ketika calon yang dipilih benar-benar berhasil menduduki jabatan itu.
Padahal, seharusnya setiap masyarakat tidak bersikap demikian, melainkan harus menafikan cara kotor yang dilakukan setiap calon kepala daerah. Tidak lain adalah dengan cara melihat tawaran dan konsep kebijakan-kebijakan yang akan dicanangkan para calon saat menduduki singgasana di setiap daerah, agar ketika menjabat nanti membawa kebaikan untuk daerahnya. Bukan justru menghalalkan politik uang yang selama ini menjerat mereka sendiri.
Permasalahan lain, rasa percaya masyarakat kepada setiap calon pemimpin sudah luntur, karena pengalaman-pengalaman yang telah lalu. Misalnya, selama ini banyak pemimpin yang hanya memberi janji-janji kepada masyarakat, tanpa adanya realisasi sedikit pun. Di sisi lain, pengetahuan masyarakat tentang pentingnya politik masih sangat minim. Hal tersebut mengakibatkan, banyak masyarakat yang kemudian enggan memilih, dengan kata lain memilih golput. Tentu hal ini tidak dapat dibenarkan.
Tingginya Tingkat Golput
Berdasarkan hasil quick count (hitung cepat) pada pilkada serentak 2015, di sejumlah daerah angka golput masih tinggi. Misalkan saja yang terjadi di sebagian besar daerah di Pulau Jawa. Di Malang, Jawa Timur, berdasarkan hasil hitung cepat yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI), jumlah pemilih yang datang hanya 57,6 persen, sedangkan yang golput sebanyak 42,4 persen atau kurang lebih sama yang ada di Kediri, yang berpartisipasi hanya 56,3 persen. Di Kabupaten Indramayu, LSI juga mencatat sebanyak 59,81 persen yang berpartisipasi, dan itu tergolong rendah. Bahkan, di beberapa daerah ditemukan yang melakukan golput hampir 50 persen lebih dari daftar pemilih tetap (DPT).
Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat menyebutkan bahwa rata-rata masyarakat yang berpartisipasi dalam pilkada serentak 2015 mencapai 73,22%. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya golput adalah tidak efektifnya model kampanye yang dikelola KPU. Selain itu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa antusiasme warga dalam memaksimalkan hak pilihnya sangat rendah dibandingkan pilkada sebelumnya. Tidak jauh beda dengan pilkada jilid I pada 2015, pilkada serentak jilid II pada 2017 lalu juga menyisakan problema yang sama, yaitu tingkat golput yang masih tinggi.
Ini juga dituturkan oleh Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari, bahwa rendahnya partisipasi dalam pilkada ini disebabkan sosialisasi dan kampanye yang kurang menyentuh masyarakat. Minimnya sosialisasi dan tidak efektifnya kampanye tak lepas dari kesalahan desain yang dilakukan KPU. Sebab, menurutnya, desain KPU waktu itu lebih tepat untuk pilkada melalui sistem perwakilan atau pemilihan melalui DPRD.
Hal lain yang menjadikan masyarakat menjadi enggan memilih ialah akses tempat menuju ke Tempat Pemilihan Umum (TPU) yang cukup jauh. Karena akses perjalanannya cukup jauh, masyarakat yang hidup di pedalaman pasti akan berpikir dua kali untuk memilih calonnya. Toh kalaupun, pemimpin tersebut berhasil terpilih menjadi kepala daerah setempat, pemimpin tersebut akan melupakan mereka, atau dengan kata lain, tidak mendapatkan akses publik yang merata seperti yang ada di kota. tidak akan membuatkan akses perjalanan ke tempat mereka, untuk memudahkan akses keluar masuk rumah mereka, seperti janji awal yang diucapkan ketika berkampanye.
Menggencarkan Sosialisasi
Selain tidak efektifnya model kampanye yang dikelola oleh KPU pada pilkada serentak jilid I, juga pada pilkada serentak jilid II, dari tahun ke tahun yang sebenarnya menjadi masalah adalah akses orang-orang pedalaman menuju tempat TPU yang sangat jauh, dan juga sosialisasi ke tempat mereka yang minim juga menyebabkan mereka tidak mengetahui bakal siapa calon yang akan mereka pilih nanti.
Selain dari faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, beberapa faktor utama yang menyebabkan tingginya angka golput ialah minimnya sosialisasi yang dilakukan para calon kepala daerah kepada masyarakat setempat, kurang mengenal sosok yang akan dipilih pada pilkada kelak, juga menyebabkan masyarakat enggan untuk ke TPU. Dan yang paling banyak masyarakat memilih golput disebabkan tidak ada perubahan yang berarti yang dilakukan pada pemimpin sebelumya, dan imbasnya pun masyarakat tidak langsung percaya pada calon-calon pemimpin baru mereka.
Hal demikian seharusnya menjadi pekerjaan utama bagi KPU, supaya pada pemilu pilkada tahun 2018 ini tingkat masyarakat yang melakukan golput semakin berkurang. Lebih mengefektifkan kampanye para calon kepala daerah, menyediakan sarana prasarana bagi masyarakat yang ada di pedalaman, melakukan pendekatan-pendekatan kepada rakyat, dan juga membuat kebijakan yang sekiranya membuat masyarakat itu percaya bahwa pemimpin tersebut layak untuk memimpin daerahnya.
Selain itu, masyarakat juga harus sadar, bahwa satu suara yang dimiliki sangat menentukan untuk daerahnya ke depan. Karena itu, mereka harus memaksimalkan hak pilihnya untuk memilh pemimpin yang benar-benar baik dan bisa memperbaiki daerahnya. Dengan begitu, melalui pilkada serentak jilid III nanti, semoga akan muncul pemimpin yang benar-benar mengayomi rakyat, membuat kebijakan-kebijakan yang menyenangkan, sehingga membawa perubahan yang baik dalam masyarakat. Wallahu a’lam bi al-shawab.
*Mahasiswa Fakultas Saintek UIN Walisongo Semarang; Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Semarang
Sumber: Militan.co

Comments

Popular posts from this blog

Jenjang Pendidikan Formal Kader HMI

Implementasi Bersyukur dan Ikhlas dalam Meneguhkan Qalbu

Memahami Surat Yusuf Ayat 2: Agar Menggunakan Akal