Gelap Terang Selebritisasi Politik
Ketua Bidang Pemberdayaan
Perempuan HMI Komisariat Persiapan Saintek Walisongo, Mahasiswi Jurusan
Pendidikan Matematika Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
Meningkatnya jumlah selebriti
tanah air yang mengikuti kontes pemilihan calon legislatif (caleg) dari tahun
ke tahun, terutama menjelang tahun 2019 mengindikasikan adanya selebritisasi
politik.
Keikutsertaan mereka pada
pemilihan caleg kali ini tentu mengalihkan perhatian sebagian elemen masyarakat
yang berakibat pada meningkatnya rating partai tertentu yang mengusungnya. Tidak
bisa dipungkiri bahwa keberadaan selebriti tersebut secara tidak langsung
berpengaruh pada dunia percaturan politik di Indonesia.
Seperti yang kita ketahui bahwa
dunia perpolitikan sangat membutuhkan yang namanya “popularitas”, sedangkan
artis merupakan pemilik popularitas yang lebih tinggi dibandingkan yang lain.
Untuk melayani kebutuhan popularitas yang tinggi ini, tak ayal lagi
partai-partai politik baik “partai elite” maupun “partai tercepit” mau tidak
mau harus mempertahankan eksistensinya, bagaimanapun caranya termasuk “menyewa”
sejumlah artis untuk ditawarkan menduduki kursi pemerintahan. Sehingga dapat
kita prediksi bahwa kemungkinan besar dunia politik akan dikuasai oleh kaum
selebriti.
Tercatat sedikitnya ada 71
selebriti dengan berbagai latar belakang, baik penyanyi, komedian, maupun
presenter mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai caleg.
Menariknya, wabah selebritisasi politik ini menyebar rata ke hampir seluruh
partai politik (parpol) yang ada, baik itu parpol besar maupun parpol kecil.
Popularitas selebriti inilah
yang nantinya akan membuat mereka menjadi pilihan utama, meski sebenarnya ada
kandidat lain yang lebih pantas. Namun, peluang mereka tentu akan lebih besar
dibanding caleg yang hanya memiliki sedikit pendukung, atau bahkan tidak
memiliki pendukung sama sekali. Apalagi jika para caleg selebriti ini
menggunakan strategi yang cermat serta sasaran yang tepat. Tentu bukan suatu
kemustahilan untuk menjadikan mereka sebagai anggota legislatif yang memiliki
kedekatan emosi imajinatif dengan para penggemarnya.
Kekurangmahiran parpol mengusung
kader dari partainya sendiri menjadikan mereka berlaku pragmatis, salah satunya
menjadikan selebriti sebagai caleg. Padahal idealnya, parpol harusnya mengusung
caleg yang berkualitas dari diri sendiri. Jika mereka selalu mengandalkan
figur-figur populer dalam kontestasi politik, maka hal ini menunjukkan
kekurangcanggihan parpol tersebut dalam proses perkaderan.
Akibatnya, parpol bisa saja
kehilangan jati dirinya sebagai organisasi yang seharusnya mampu merekrut
kader-kader yang bisa diandalkan. Ide selebritisasi artis ini jika tidak
disiapkan secara sungguh-sungguh, hanya akan menambah kekacauan dan hingar
bingar pada kelas menengah ke atas. Khususnya para elit politik yang notabene
menjadi penentu kebijakan publik. Karena seperti yang kita saksikan di layar
televisi, tidak jarang para selebriti terciduk oleh pihak kepolisian sedang
berpesta narkoba atau melakukan berbagai tindak kriminal lainnya.
Tentu saja ini menjadi momok yang
menakutkan publik. Alasannya, jika selebriti yang memasuki dunia politik adalah
yang bermental seperti itu, maka rusaklah mentalitas dan moralitas bangsa ini.
Hal tersebut bisa terjadi karena para elite politik yang harusnya menjadi suri
tauladan bagi rakyat, malah melakukan sesuatu yang tercela yang pada akhirnya
dijadikan dalil oleh masyarakat kita untuk melakukan kejelekan tersebut.
Bukan Sekadar Pelengkap
Terlepas dari sisi buruk
terhadap sistem politik dan demokrasi di Indonesia, kehadiran caleg selebriti
seharusnya mengundang manfaat tersendiri. Pertama, selebriti yang maju
sebagai caleg atau direkrut partai pada umumnya memiliki latar belakang yang
terkait dengan industri kreatif.
Pengalaman dan kemampuan itu
dapat dimanfaatkan, tidak hanya untuk menumbuhkan basis ekonomi kreatif di tiap
daerah pemilihan (dapil). Tapi, dapat juga membantu para tokoh budayawan lokal
dalam mempromosikan sumber daya kebudayaan yang mereka miliki agar lebih
kompetitif, baik di level nasional maupun internasional.
Kedua, kemampuan komunikasi
selebriti yang menarik dan persuasif, dapat membantu parpol untuk
mengomunikasikan gagasan-gagasan yang diusung, agar tersampaikan secara efektif
dan tepat sasaran. Selain itu, secara tidak langsung akan menaikkan harga diri
dan marwah parpol yang bersangkutan, dan tentunya diharapkan dapat menambah
jumlah kursi di suatu dapil serta memperluas pengaruh parpol tertentu.
Ketiga, para selebriti yang
menjadi caleg pada umumnya tidak hanya memiliki kemampuan
sebagai political endorser. Mereka juga memiliki potensi
sebagai political influencers. Kemampuan itu sangat penting untuk
meningkatkan partisipasi politik pemilih dalam arena pemilu, baik pileg dan
pilpres, khususnya para pemilih apolitis dan antipartai. Potensi seperti itu sangat
berguna sekali untuk meminimalkan jumlah pemilih golput di setiap dapil yang
ada di setiap wilayah di Indonesia.
Agar peluang-peluang di atas
dapat terwujud, maka diperlukan adanya sinergitas antara parpol dan selebriti
yang akan diusung, terutama mengenai strategi dan manajemen komunikasi politik
mereka secara maksimal. Tanpa itu, rasanya kehadiran mereka dalam kontestasi
politik hanya menjadi pelengkap. Jika itu yang terjadi, rasanya mustahil bagi
kita untuk melihat sosok caleg selebriti yang bisa menjadi kader unggulan
partai dan menjadi politisi kelas satu. (*)
sumber: Tribun
Jateng
Comments
Post a Comment