Raisiyyah Ala Indonesia
Dunia perpolitikan semakin menguap dengan adanya guncangan problematika yang terjadi. Tak dapat dipungkiri bahwa masalah kan terus berlanjut. Berbagai masalah yang muncul tidak semata-mata hanya karena situasi dan kondisi negara, melainkan karena adanya campur tangan dari para pemimpin. Baik secara sengaja ataupun tidak.
Menjadi pemimpin minimal harus memiliki standar pendidikan yang tinggi dan jelas. Kini terbukti bahwa pemimpin negri telah berpendidikan tinggi. Namun, pengaplikasian dalam memimpin negri masih sangat minim. Kurang bijak dan cekatan dalam menangani problematika. Tidak sesuai dengan apa yang telah dicapainnya selama mengenyam pendidikan dan sumpahnya ketika dibaiat menjadi pemimpin.
Pendidikan tinggi seolah-olah hanya dijadikan sebagai syarat untuk masuk dalam dunia perpolitikan. Bertahun-tahun lamanya mengenyam pendidikan tidak diamalkan sebagaimana semestinya. Misalnya dalam membedakan urusan pribadi dan golongan saja belum tepat. Masih marak terjadi korupsi. Beberapa masih lapar jabatan, gila dunia, egois, tak berempaati terhadap masyarakat.
Pemimpin yang baik yaitu yang mampu mengendalikan masalah yang dihadapi. Pemimpin juga adalah tombak untuk maju atau mundurnya suatu Negara. jadi, keberhasilan dan kegagalan suatu Negara tergantung pada kinerja para pemimpin. Kebanyakan dari mereka itu tak mau ambil pusing dalam mengambil resiko alias enggan bertanggung jawab.
Mengatur sebuah negara tidak bisa seperti bermain layang-layang. Main tarik ulur dalam menyelesaikan masalah. Semua masalah yang ada, kerap kali tidak selesai dengan sempurna. Banyak yang masih ditutup publik supaya rakyat tidak ikut campur dan semakin membuat ruwet masalah. Terkadang Pemerintahan mengelabuhi masyarakat dengan hal baru untuk pencitraan terhadap problematika publik.
Sejatinya seorang pemimpin itu harus bijaksana. Berani mengambil alih problematika menjadi tanggung jawabnya. Selain itu, tak seharusnya percekcokan yang terjadi ditutupi dari rakyat. Masyarakat seharusnya tahu apa dan bagaimana problematika yang sedang terjadi. masyarakat juga punya hak untuk ikut menyuarakan keinginannya.
Masyarakat secara harfiah seperti domba yang tunduk patuh dengan pengembalanya. Tidak memiliki wewenang untuk memutuskan karena tidak memiliki jabatan di kursi kepemimpinan. Namun bukan berarti selalu tunduk patuh akan keputusan yang diputuskan oleh pemerintah. Jadi, pemerintah harus empati terhadap suara rakyat. Karena pemerintah merupakan perwakilan rakyat.
Beberapa problematika yang ditutupi dari rakyat berakibat fatal. Karena adanya salah presepsi pemikiran atau miringnya kabar yang diterima. Berbagai fakta yang terjadi itu diantaranya seperti pemerintahan Presiden Soekarno yang pada saat itu sedang ramai tentang pemberontakan yang dilakukan oleh PKI. Yang pada akhirnya presiden soekarno lengser darii kedudukannya. Padahal sebelumnya beliau sangat disanjung oleh rakyat.
Keberhasilan pemerintah tak luput dari campur tangan rakyat juga. Namun, tetap dikembalikan pada kinerja pemerintahan itu sendiri. Untuk itu, interaksi antara pemerintah dengan rakyat sangatlah penting. Wajar jika ada tabir antara pemerintah dan rakyat karena adanya hal yang disebut dengan jabatan. Namun bukan berarti lost kontak antar keduanya dan saling diam.
Tak hanya itu, pemimpin selayaknya juga harus memiliki kecerdasan emosional yang tinggi untuk menghadapi permasalahan yang ada. Salah satu bentuk dari kecerdasan emosional itu sendiri bukan berarti menghadapi masalah dengan panas kepala. Namun, menghadapinya dengan tegas dan bijaksana. Dapat mengambil keputusan yang tidak merugikan pihak lain.
PEMIMPIN MENURUT SYEKH ABDUL QODIR AL- JAELANI
Salah jika ulama terdahulu tidak memikirkan tentang menjadi seorang pemimpin. Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani yang notabenenya seorang ulama’ besar saja, dalam kitab yang berjudul ‘’burhani’’ terdapat pengklasifikasikan bagaimana layaknya menjadi seorang pemimpin. Klasifikasi tersebut diantaranya Ilmul ‘Ulama’. Yaitu seorang pemimpin yang berilmu tinggi, memiliki banyak wawasan, intelektual, dapat berfikir logis, jujur,disiplin, bijaksana, sabar, dan amanah. Dapat mengayomi rakyat dengan baik.
Selanjutnya yaitu Hikmatul Hukama’. Bahwa kebijaksanaan dan keadilan sangat menentukan akan keberhasilan sebuah kepemimpinan. Selain itu juga harus bijak dalam mengambil keputusan dan memecahkan masalah.
Yang terakhir yakni Siyasatul Mulk. Jika sudah mempunyai bekal ilmu yang mampuni dan harta yang memadai, barulah dapat naik tangga satu oktaf lagi yakni berkuasa. Berkuasa bukan semata-mata untuk ketenaran dan haus akan jabatan. Siyasatul Mulkinilah yang berkaitan erat dengan masalah kemenejemenan dan perpolitikan.
Seperti yang orang awam ketahui bahwa politik itu kotor. Namun tidak demikian. Politik merupakan hal yang bagus, hanya saja karena para politikus zaman sekarang sudah tidak murni lagi. Karena adanya beberapa factor yang mendominasi terutama haus jabatan, kejam, tak kenal kawan dan lawan, dan licik.
Tanpa adanya pemimpin, pastilah Negara semakin amburadul. Dalam islam memimpin adalah wajib. Dimulai dari memimpin diri sendiri, keluarga, kemudian umat. Tidak mudah memang, namun haruslah dijalankan demi kesejahteraan suatu Negara khususnya Negara Indonesia. Wallahu a’lam bi al-shawab.
OLEH : ISNAINI MUBAROKAH, Peneliti di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN) Monash Institute
Sumber: Militan.co
Sumber: Militan.co
Comments
Post a Comment