Merayakan Kehilangan (Kasih si Pengarang)


Oleh: Wahyudi Hasibuan*

Doc. Penulis
Dalam setiap perjalanan hidup selalu memiliki sebuah rintangan. Kepala yang tegak, kaki yang terus akan melangkah harus tetap menghadapi dinamika kehidupan. Semua manusia berhak memilih jalan hidupnya, begitu juga dengan seorang laki-laki introvert yang selalu bersenggama dengan kesunyian, Ia adalah Kursana. Semua sarana hening diberlakukan demi mencari transendensi kebahagiaan.  Kursana kini kehilangan jati diri setelah sekian lama terbelenggu dengan api patah hati, Setiap langkah yang dilaluinya kini beriringan dengan keragu-raguan. Podcast yang selalu didengar setiap pagi dengan kicauan burung-burung berisikan kata-kata manis yang ingin selalu diucapkan tetapi tidak tersampaikan. Burung-burung itu seakan mengatakan, “wahai anak muda, apakah engkau bahagia dengan kesendirianmu sekarang? jiwamu terbelenggu api amarah, hatimu terbakar bagaikan kertas yang sudah menjadi abu, apakah engkau tetap akan seperti itu sampai kegagalan dan kehinaan datang menghampirimu?” Mata burung itu lantas meyakinkan anak muda introvert tersebut untuk berbenah.  Masa putih – hitam sudah usai dalam membentuk kepribadian mandiri dan islami semasa di Pondok Pesantren. Saatnya Kursana pergi dan mengatakan kepada dirinya, “engkau akan tetap tegak dalam idealismemu Kursana, jiwamu tetap akan terus hidup, cita-cita ada di depan mata, Tumbuhlah kuat bagaikan tangkai bunga yang kokoh”. 


Hari-hari berlalu membentuk kepribadian Kursana menjadi lebih baik, kini ia tidak lagi menjadi seorang yang introvert, Kursana menyadari bahwa memendam semua rasa tidak akan menjadikan semuanya menjadi solusi terbaik. Tulisan demi tulisan sudah ditulis olehnya sampai teman-temannya menjulukinya Bibliobibuli. Kursana telah merayakan sebuah kehilangan dengan membentuk kepribadian yang lebih baik, kini ia menantikan sosok wanita misteri di dalam mimpinya. Bibir merah merona, alis mata yang lentik dengan pandangan yang begitu tajam pertama kali Ia pandang di sudut padepokan tempat wanita itu berdiskusi. Podcast lamanya kini sudah terhapus dengan tulisan cinta yang bergairah di sebuah kertas suci yang belum ternodai. Angan-angan tinggi bertumpuk pada sebuah mesin ketik yang setiap malam mengklasifikasikan karakter wanita idaman Kursana. Lembaran cerita kini ia jadikan dalam bentuk buku fiksi. Nantinya ketika itu tidak tersampaikan untuk kesekian kalinya akan menjadi sejarah di dalam kehidupannya. Mentari akan terus terbit dengan cahaya penghangatan, cita-cita tidak boleh usai sampai sedari diri meminta untuk berhenti sendiri, otak tidak bisa berfikir lagi, jari jemari kini kaku, tapi Kursana menyadari itu masihlah lama, bidadari itu telah menunggu dengan kesuksesan yang engkau bawa. Senyuman itu memotori semangat juang diri Kursana. Kelak setiap insan akan menulis cerita sejarahnya di dalam sanubari masing-masing. 

Gedung aksara memaksa Kursana untuk mengurungkan niatnya dalam mengatakan suatu perubahan yang terjadi pada dirinya. Bibirnya membeku, lidahnya seakan tidak bisa mengatakan satu patah kata pun ketika perempuan itu berdiri di depannya. Jilbab hitam dengan tulisan aksara mewarnai hati Kursana, memantapkan diri dalam keyakinan kuat, Kuasa Tuhan tidak akan pernah berubah kepada insan yang terus berdo’a, ikhtiar, dan berusaha. Alamat dan sinyal rasa kasih seakan menghidupkan kembali semangat Kursana. Tapi itu hanyalah sebuah impian yang tidak tahu bagaimana memvisualisasikan rasa yang ada dalam diri laki-laki yang dulunya introvert bernama Kursana kepada perempuan yang tidak sengaja tertatap di sebuah pojokan padepokan tempat orang-orang mengadakan diskusi. 


“Kita harus berarti untuk diri kita sendiri dulu sebelum kita menjadi orang yang berharga bagi orang lain” ~ Ralph Waldo Emerson

Comments

Popular posts from this blog

Jenjang Pendidikan Formal Kader HMI

Implementasi Bersyukur dan Ikhlas dalam Meneguhkan Qalbu

Memahami Surat Yusuf Ayat 2: Agar Menggunakan Akal